Connect with us


Opini

ARTIKEL ILMIAH Dari “Nggih Niki Mboten Napa-Napa” ke Konflik Elite: Dekonstruksi Eufemisme Jawa dalam Pengambilan Kebijakan di PBNU

Dari “Nggih Niki Mboten Napa-Napa” ke Konflik Elite: Dekonstruksi Eufemisme Jawa dalam Pengambilan Kebijakan di PBNU

Oleh: Deddi Fasmadhy Satiadharmanto*)
Penasehat Hukum & Mahasiswa Doktoral Studi Islam, UIN Syekh Wasil Kediri
Email: hanyaujianini@gmail.com

Executive Summary:
Konflik internal PBNU tahun 2025—terutama terkait permintaan percepatan pergantian Ketua Umum oleh Syuriyah PBNU dalam tenggat tiga hari menunjukkan persoalan fundamental dalam praktik komunikasi kebijakan di tubuh organisasi keagamaan terbesar di Indonesia.

Struktur komunikasi PBNU yang berakar pada budaya jawani yang menekankan kesantunan, harmoni, dan penggunaan eufemisme membentuk pola komunikasi yang halus namun berlapis. Penggunaan ungkapan seperti “nggih niki mboten napa-napa,” “monggo dipun atur,” dan “kulo nyuwun sewu” pada dasarnya merupakan strategi linguistik untuk menjaga rukun dan menghindari konfrontasi langsung, tetapi dalam konteks ketegangan elite justru memunculkan ambiguitas, miskomunikasi, dan deviasi makna substantif.

Fenomena ini selaras dengan analisis Magnis-Suseno (1997) mengenai etika Jawa, yang menempatkan ketertiban sosial dan harmoni sebagai prioritas di atas kejelasan pesan. Dalam skala organisasi besar seperti PBNU, keengganan untuk berbicara secara blakasuta menciptakan ruang abu-abu yang memungkinkan misinterpretasi dan eskalasi konflik.

Geertz (1960) juga mencatat bahwa bahasa Jawa memuat hirarki simbolik yang sering kali menyembunyikan intensi politik di balik kesantunan formal.

Dalam konteks kepemimpinan organisasi, kecenderungan ini menciptakan distorsi komunikasi kebijakan pada tiga level utama: (1) transmisi pesan yang tidak lugas, (2) kejelasan makna yang kabur, dan (3) ketidakselarasan antara pesan dan implementasi—sebagaimana dikonfirmasi oleh studi Irawanto, Ramsey, & Ryan (2011) tentang tantangan kepemimpinan dalam kultur Jawa.

Selain itu, pola komunikasi berbahasa halus ini diperkuat oleh dinamika simbolik keagamaan, struktur otoritas tradisional, serta idiom-idiom kesantunan yang diwariskan antar-generasi (Wulandari et al., 2025; Kawakip, 2020).

Kombinasi faktor budaya dan struktural ini membuat proses komunikasi kebijakan mudah terdistraksi oleh interpretasi personal, preferensi elite, serta sensitivitas posisi politik. Hal ini memperjelas bahwa ketegangan elite PBNU tahun 2025 bukan hanya konflik kepemimpinan, tetapi juga kegagalan mengelola komunikasi kebijakan secara tegas, transparan, dan multilevel (Nugroho, 2014; Anderson, 1990).

Dengan demikian, persoalan komunikasi eufemistis dalam konteks kebijakan organisasi menuntut penataan ulang tata komunikasi formal agar tidak tenggelam dalam “kabut makna” budaya Jawa yang halus namun berisiko multitafsir. Mengikuti temuan Setyawan et al. (2025) dan Hadzantonis (2021), eufemisme yang tidak dikelola justru dapat mengaburkan otoritas organisasi, memicu persaingan simbolik, dan merusak kohesi institusional.

Policy brief ini menawarkan tiga intervensi kebijakan:
(1) pembentukan protokol komunikasi krisis yang eksplisit,
(2) penegasan garis otoritas komunikasi di antara Syuriyah dan Tanfidziyah, serta
(3) penggunaan bahasa kebijakan yang lebih lugas, jelas, dan minim ambiguitas sebagaimana direkomendasikan dalam studi tata kelola kebijakan publik (Rizal, 2020).

Pendahuluan :
Apa yang Dipertaruhkan? Dimensi Budaya dan Otoritas dalam Komunikasi Kebijakan PBNU. Konflik internal PBNU tahun 2025 yang memuncak melalui beredarnya Risalah Rapat Harian Syuriyah berisi permintaan agar Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf mengundurkan diri menampilkan persoalan mendasar dalam tata komunikasi kebijakan di organisasi sosial-keagamaan besar yang dibentuk oleh kultur kejawen dan struktur ganda (Syuriyah–Tanfidziyah).

Surat tabayun PBNU bertanggal 22 November 2025 membenarkan bahwa rapat Syuriyah tanggal 20 November telah dilaksanakan secara sah dan kuorum, namun rangkaian tindak lanjut administratif, termasuk surat pengantar resmi untuk Ketum, justru belum lengkap karena belum ditandatangani Katib Aam. Ketegangan semakin tampak ketika dokumen risalah yang diserahkan langsung kepada Gus Yahya saat sowan ke Wakil Rais Aam, KH Afifuddin Muhajir, ditolak untuk diterima dan kemudian dikembalikan.

Rangkaian peristiwa ini menunjukkan bahwa persoalan PBNU 2025 bukan hanya konflik kepemimpinan, tetapi juga kegagalan policy communication design pada level elite. Mekanisme formal (kuorum, legalitas dokumen, tanda tangan pejabat) berjalan, namun pengelolaan pesan kebijakan terutama bagaimana keputusan penting dikomunikasikan antarstruktur, dan bagaimana simbol, gestur, serta bahasa diproses oleh para aktor—mengalami ketidaksinkronan.

Dalam kultur organisasi yang kental nilai Jawa, ekspresi “halus” sering memberi ruang interpretasi luas. Sikap penyerahan kembali risalah oleh Gus Yahya, misalnya, dapat dibaca sebagai penolakan tanpa verbal, sebuah pola yang sejalan dengan tradisi komunikasi Jawa yang lebih memilih gestur daripada konfrontasi verbal langsung (Irawanto et al., 2011).

Di sisi lain, Syuriyah memproses keputusan secara formal dan administratif sesuai aturan organisasi, tetapi tidak mengelola policy cues di ruang publik ketika dokumen tersebut bocor di media sosial. Hal ini bertentangan dengan prinsip komunikasi kebijakan yang menekankan pentingnya kejelasan pesan, konsistensi timing, dan kontrol arus informasi pada isu sensitif (Nugroho, 2014).

Ketidakterpaduan antara bahasa formal dan simbolik inilah yang memproduksi ketegangan elite, memperuncing disonansi internal, dan memperlihatkan bagaimana “eufemisme Jawa” dapat menjadi hambatan struktural ketika organisasi memasuki situasi krisis kepemimpinan.

2. Tinjauan Peneitian
Bagian ini mengulas konteks, sumber rujukan, serta pendekatan analitis yang digunakan untuk memahami pola komunikasi kebijakan PBNU, khususnya ketika eufemisme Jawa digunakan oleh elite organisasi.

Konteks Kajian dan Sumber Rujukan Penelitian terdahulu menunjukkan bahwa efektivitas komunikasi kebijakan sangat bergantung pada kualitas transmisi pesan, kejelasan struktur narasi, serta konsistensi informasi antar-aktor kebijakan (Aneta et al., 2024). Dalam organisasi keagamaan, bahasa tidak hanya berfungsi sebagai alat penyampai pesan, tetapi juga sebagai simbol identitas dan kontrol wacana publik (Sumarlan et al., 2025).

Penelitian mengenai komunikasi budaya Jawa menemukan bahwa eufemisme berperan menjaga harmoni sosial dan “rasa,” namun sering memunculkan ambiguitas terutama dalam komunikasi organisasi yang menuntut ketegasan (Cendriono, 2020; Rohmadi et al., 2025).

Dalam konteks keagamaan, penggunaan bahasa simbolik juga dipahami sebagai praktik hegemoni wacana, misalnya melalui penggunaan istilah bernuansa religius untuk membingkai tindakan politik (Nurhajati et al., 2020) atau untuk memperkuat otoritas elite keagamaan (Yani et al., 2022).

Pendekatan Analitis
Kajian ini menggabungkan tiga pendekatan:
1. Pendekatan Komunikasi Kebijakan (Transmission–Clarity–Consistency)

Kerangka transmission–clarity–consistency digunakan untuk menilai efektivitas pesan elite PBNU. Studi kebijakan publik di Indonesia menunjukkan bahwa ketidakkonsistenan pesan sering menjadi sumber konflik interpretasi di level akar rumput (Aneta et al., 2024; Ahdiyana et al., 2022). Kerangka ini relevan ketika PBNU menghadapi situasi krisis komunikasi akibat pernyataan yang multitafsir.

2. Pendekatan Komunikasi Budaya Jawa
Eufemisme seperti “nggih niki mboten napa-napa,” “monggo dipun atur,” atau “kulo nyuwun sewu” merupakan perangkat budaya yang fungsinya menjaga kesopanan dan hirarki, namun dapat menutupi pesan substantif (Cendriono, 2020; Rohmadi et al., 2025).

Dalam organisasi keagamaan seperti GITJ Kudus, pola unggah-ungguh terbukti sangat memengaruhi persepsi dan respons anggota organisasi (Goei et al., 2022). Fenomena ini relevan ketika elite PBNU menggunakan gaya berbahasa yang bercorak “halus”, namun publik menafsirkannya sebagai bentuk ketidaktegasan.

3. Analisis Wacana Keagamaan
Bahasa elite PBNU dibaca sebagai konstruksi identitas religius sekaligus instrumen politik moral. Studi Huda et al. (2025) menegaskan bahwa penggunaan bahasa daerah dalam dakwah memperkuat resonansi emosional dan legitimasi wacana. Penelitian Nurhajati (2020) juga menunjukkan bahwa istilah religius sering dipakai untuk membingkai posisi politik dan memengaruhi opini publik. Dengan demikian, analisis wacana diperlukan untuk melihat bagaimana publik nahdliyin membaca sinyal-sinyal tersirat dalam komunikasi elite PBNU.

Sumber Data dan Situasi Lapangan
Data penelitian dihimpun melalui analisis pemberitaan, dokumen resmi PBNU, pernyataan elite, dan literatur akademik mengenai komunikasi kebijakan, budaya Jawa, dan organisasi keagamaan. Teknik pengumpulan mencakup analisis dokumen, observasi wacana, dan studi literatur, sebagaimana lazim dalam penelitian kualitatif budaya dan komunikasi organisasi (Goei et al., 2022; Sumarlan et al., 2025).

Hasil Umum Penelitian
Policy Brief ini menunjukkan bahwa dinamika komunikasi kebijakan dalam konflik internal PBNU 2025 tidak hanya dipengaruhi oleh struktur kewenangan Syuriyah, tetapi juga oleh pola komunikasi Jawa yang sarat eufemisme.

Temuan awal memperlihatkan tiga gambaran utama.
Pertama, pesan Syuriyah yang secara formal bersifat instruktif tidak diterima sebagai perintah langsung, melainkan sebagai anjuran yang lentur. Fenomena ini sejalan dengan riset komunikasi kebijakan yang menegaskan bahwa efektivitas kebijakan sangat bergantung pada ketepatan transmisi dan kesesuaian antara maksud pembuat kebijakan dengan persepsi pelaksana (Aneta, 2024).

Di lingkungan organisasi berbasis kultural Jawa, transmisi pesan yang menghindari ketegasan verbal menyebabkan arahan otoritatif mengalami pelunakan makna.

Kedua, penggunaan eufemisme dan unggah-ungguh khas Jawa terbukti menggeser makna kebijakan dari ranah struktural menuju ranah moral-kultural. Bahasa halus seperti “nggih monggo,” “kulo nyuwun sewu,” atau “mboten napa-napa” berfungsi sebagai mekanisme kesantunan, namun dalam konteks kebijakan, ia mengurangi artikulasi tujuan institusional.

Hal ini sejalan dengan temuan Cendriono (2020) bahwa eufemisme Jawa menciptakan efek psikososial berupa penghalusan konflik, namun sekaligus mengaburkan intensi ujaran.
Dalam konteks organisasi keagamaan, pola komunikasi semacam ini menciptakan kesan bahwa instruksi Syuriyah merupakan ruang negosiasi, bukan keputusan final.

Hal tersebut serupa dengan temuan Goei (2022) bahwa unggah-ungguh dapat mengubah keputusan organisasi menjadi ritual keharmonisan, bukan tindakan administratif yang mengikat.

Ketiga, publik termasuk warga nahdliyin menunjukkan kebingungan mengenai siapa pemegang otoritas tertinggi, terutama ketika pesan yang beredar tidak konsisten dari hari ke hari. Kondisi ini selaras dengan kerangka komunikasi kebijakan yang menempatkan konsistensi sebagai prasyarat legitimasi kebijakan (Ahdiyana, 2022). Ketidaktegasan aktor elite, ditambah penggunaan bahasa yang membungkus keputusan keras dengan diksi lunak, memperparah ketidakpastian publik.

Fenomena ini mengonfirmasi kajian diskursus keagamaan (Rohmadi, 2025) bahwa bahasa Jawa dalam institusi keagamaan tidak pernah netral; ia membawa identitas, kehormatan, dan hierarki yang dapat mempengaruhi interpretasi kebijakan. Dengan demikian, ketiga temuan tersebut membentuk dasar analisis bahwa konflik PBNU 2025 bukan hanya pertarungan kewenangan struktural, tetapi juga benturan antara komunikasi kebijakan modern dan etika wicara Jawa yang menempatkan harmoni sebagai nilai utama.

Diskusi dan Analisis
Distorsi Transmisi Pesan Instruksi Syuriyah yang disampaikan melalui ungkapan-ungkapan halus—ciri khas komunikasi pesantren—tidak bekerja efektif ketika diperlakukan sebagai pesan kebijakan. Bahasa yang terlalu santun dan implisit membuat perintah struktural kehilangan tekanan otoritatifnya. Alhasil, pesan yang semestinya diterima sebagai keputusan organisasi justru dianggap sebagai “aspirasi internal” yang masih dapat ditafsirkan.

Pandangan Riant Nugroho bahwa komunikasi kebijakan hanya efektif bila pesan ditransmisikan secara tegas, tidak multiinterpretatif, dan diterima sebagai mandat resmi, bukan sekadar obrolan antar-elite.

Fenomena di PBNU 2025 memperlihatkan kegagalan dimensi transmisi ini—tepat sebagaimana ditemukan dalam penelitian komunikasi kebijakan daerah yang menekankan pentingnya transmission yang tegas dan terstruktur (Aneta et al., 2024).

Ambiguitas Kejelasan Pesan

Ungkapan semisal “monggo dipun atur”, yang dalam budaya Jawa dapat berarti persilaan administratif namun sekaligus penolakan halus, menimbulkan ambiguitas makna. Dalam relasi guru–murid khas pesantren, bentuk tutur semacam ini lebih bertujuan menjaga harmoni ketimbang menghasilkan kejelasan instruktif.

Menurut studi sosiopragmatik bahasa Jawa, ketidaklangsung-an adalah mekanisme menjaga kesantunan (unggah-ungguh), tetapi pada konteks organisasi besar, praktik ini justru memunculkan ruang tafsir politis (Rohmadi et al., 2025; Goei et al., 2022).

Dengan demikian, dimensi clarity dalam komunikasi kebijakan—yang menurut literatur harus menghasilkan pesan eksplisit, konsisten, dan mudah dipahami—tidak terpenuhi.
Ketidakkonsistenan Komunikasi Kebijakan
Dalam rentang tiga hari, dua kubu dalam PBNU menyampaikan narasi berbeda mengenai status perintah Syuriyah: dimulai dari klaim adanya instruksi resmi, berubah menjadi klarifikasi, kemudian direvisi lagi menjadi interpretasi personal.

Perubahan narasi yang cepat dan saling bertentangan ini menunjukkan lemahnya konsistensi komunikasi kebijakan. Penelitian tentang komunikasi kebijakan menegaskan bahwa consistency adalah syarat minimal bagi stabilitas organisasi; ketidakkonsistenan tidak hanya mengaburkan arah kebijakan, tetapi juga mempercepat eskalasi konflik antar-elite (Ahdiyana et al., 2022; Dwi et al., 2023).

Dalam kasus PBNU, dinamika ini diperparah oleh penggunaan eufemisme Jawa yang seakan-akan menjaga kehormatan antar-figur, tetapi pada saat yang sama menghalangi publik memahami posisi resmi organisasi.

Policy Implications & Recommendations
Implikasi Kebijakan

Ketegangan internal PBNU pada 2025 menunjukkan bahwa problem komunikasi kebijakan tidak hanya lahir dari substansi keputusan, tetapi juga dari cara bahasa digunakan oleh para elite organisasi. Ketidaktegasan pesan yang muncul dalam proses penyampaian keputusan Syuriyah berpotensi menurunkan persepsi publik terhadap otoritas moral lembaga tersebut.

Dalam tradisi organisasi besar seperti PBNU, legitimasi Syuriyah sering kali ditopang oleh kualitas komunikasi yang konsisten dan jernih (Nugroho, 2014; Wahid, 2020). Ketika pesan mengalami distorsi, otoritas moral yang seharusnya menjadi jangkar stabilitas organisasi dapat terkikis oleh keraguan jamaah maupun elite daerah.

Di sisi lain, penggunaan eufemisme Jawa—seperti strategi tutur yang santun, menghindari konflik langsung, dan memberi ruang ambiguitas—membuka peluang bagi politisasi bahasa. Dalam struktur ormas yang melibatkan berbagai kepentingan, gaya komunikasi yang penuh ewuh pakewuh dapat digunakan bukan hanya sebagai mekanisme harmonisasi, tetapi juga sebagai instrumen menutupi agenda politik internal (Magnis-Suseno, 1984; Prasodjo, 2018).

Ketika aktor-aktor menggunakan bahasa halus untuk menyampaikan pesan yang sesungguhnya keras, publik internal dapat kehilangan orientasi atas apa yang sebenarnya sedang diputuskan.

Selain itu, ketidaksinkronan pesan antara Syuriyah, Tanfidziyah, dan jejaring kiai daerah menghadirkan risiko fragmentasi di tingkat grassroot. Dalam konteks PBNU, jamaah sangat sensitif terhadap pesan yang keluar dari pusat, sehingga setiap perbedaan narasi dapat melahirkan penafsiran yang saling bertentangan (Hadi, 2016; Abdullah, 2021).

Pada saat tensi elite meningkat, pesan ambigu menjadi bahan bakar bagi polarisasi dan memperlemah kohesi sosial organisasi. Kondisi ini juga memberikan dampak lebih luas terhadap citra PBNU sebagai ormas keagamaan moderat. Selama ini PBNU dianggap memiliki keunggulan dalam manajemen komunikasi publik, terutama terkait moderasi beragama dan transparansi. Namun, jika praktik komunikasi kebijakan terjebak dalam ketidakkonsistenan, kaburnya pesan, dan keberlanjutan tradisi eufemisme yang tidak adaptif, PBNU berpotensi kehilangan keunggulan tersebut di mata publik (Azra, 2017; Hamid, 2022). Kualitas komunikasi internal akan sangat menentukan posisi PBNU dalam lanskap komunikasi keagamaan yang makin kompetitif di era digital.

Rekomendasi Kebijakan

Untuk memperkuat efektivitas komunikasi dan kualitas pengambilan keputusan dalam tubuh Nahdlatul Ulama (PBNU), sejumlah rekomendasi kebijakan perlu dirumuskan dengan merujuk pada kajian komunikasi kebijakan kontemporer. Pertama, PBNU perlu membangun protokol komunikasi krisis yang baku. Keputusan strategis harus mengikuti alur komunikasi resmi, memiliki juru bicara tunggal, serta menggunakan bahasa yang jelas dan tegas. Penelitian Farhadi dan Winton (2022) menunjukkan bahwa komunikasi yang terstruktur dan transparan merupakan elemen kunci dalam menjaga stabilitas organisasi selama periode krisis, terutama ketika keputusan harus diambil dengan cepat dan dipahami oleh berbagai pemangku kepentingan.

Kedua, penggunaan eufemisme dalam keputusan struktural perlu dikurangi. Bahasa berlapis seperti “nggih niki mboten napa-napa” atau “monggo dipun atur” dapat diterima dalam konteks sosial budaya Jawa, tetapi tidak tepat digunakan dalam keputusan organisasi yang berkaitan dengan arah strategis. Arief et al. (2023) menegaskan bahwa bahasa yang tidak langsung dapat mempengaruhi persepsi risiko dan mengaburkan pemahaman publik terhadap kebijakan, sehingga kejelasan bahasa menjadi syarat utama efektivitas komunikasi kebijakan.

Selanjutnya, PBNU perlu menegaskan batas otoritas komunikasi antara Syuriyah dan Tanfidziyah. Ketidakjelasan antara otoritas moral dan administratif berpotensi menghasilkan pesan berlapis yang membingungkan publik. Gootjes et al. (2025) dalam studinya tentang collective decision making menunjukkan bahwa tumpang tindih kewenangan dapat melemahkan efektivitas komunikasi, terutama dalam situasi yang menuntut koordinasi cepat antar unit organisasi.

Rekomendasi berikutnya adalah pelatihan komunikasi kebijakan bagi para elite ormas. Pelatihan ini relevan dengan kerangka “clarity, consistency, and commitment” yang dikembangkan Boylan (2005) dalam konteks peningkatan kapasitas kepemimpinan. Bagi PBNU, pelatihan seperti ini mendesak karena dinamika politik internal membutuhkan gaya komunikasi yang konsisten serta mampu menjaga integritas pesan organisasi.

Terakhir, PBNU perlu membangun arsip komunikasi resmi agar setiap keputusan organisasi tercatat dengan baik dan tidak dapat ditafsirkan ulang setelah diumumkan. Menurut Rodriguez (n.d.), arsip komunikasi yang terdokumentasi secara sistematis berfungsi sebagai accountability mechanism yang mencegah distorsi informasi dan memastikan transparansi dalam seluruh proses kebijakan.

Dengan mengintegrasikan rekomendasi tersebut, PBNU dapat memperkuat tata kelola komunikasi kebijakan, mengurangi konflik interpretasi, serta meningkatkan legitimasi lembaga di mata publik. Rekomendasi ini sangat relevan untuk menghadapi dinamika konflik internal kepengurusan, seperti yang terjadi dalam konteks PBNU tahun 2025, di mana bahasa, otoritas, dan koordinasi memainkan peran penting dalam menjaga stabilitas organisasi.

Kesimpulan
Konflik PBNU 2025 memperlihatkan bahwa bahasa budaya bukan sekadar medium komunikasi, tetapi sebuah aktor epistemik yang mempengaruhi arah kebijakan, struktur otoritas, dan dinamika konflik. Temuan ini menegaskan adanya gap ilmiah dalam studi komunikasi kebijakan di Indonesia yang selama ini lebih banyak menyoroti aspek struktural–institusional, namun kurang memberi perhatian pada peran bahasa budaya dan eufemisme Jawa sebagai variabel penentu dalam proses pengambilan keputusan di tubuh ormas keagamaan besar.

Novelty penelitian ini terletak pada integrasi antara analisis eufemisme Jawa, teori komunikasi kebijakan, dan konteks kelembagaan Islam, yang sebelumnya hanya dikaji secara terpisah. Dengan membaca ungkapan seperti “nggih niki mboten napa-napa,” “monggo dipun atur,” atau “kulo nyuwun sewu” bukan sebagai sopan santun linguistik, melainkan sebagai instrumen kekuasaan yang memproduksi ambiguitas, penelitian ini menunjukkan bagaimana bahasa dapat menciptakan ruang negosiasi, resistensi, maupun konflik pada tingkat elite.

Policy brief ini menyimpulkan bahwa ketika eufemisme Jawa bercampur dengan struktur otoritas Syuriyah dan Tanfidziyah, ia dapat menghasilkan dua efek simultan: di satu sisi menjaga harmoni simbolik, namun di sisi lain menahan kejelasan pesan sehingga mengganggu efektivitas komunikasi kebijakan. Maka, reformasi komunikasi kebijakan menjadi urgensi strategis yakni penggunaan bahasa yang lebih lugas, struktur komunikasi yang lebih tegas, dan protokol yang menghindari multitafsir.
Pelajaran penting bagi PBNU dan organisasi keagamaan lain adalah bahwa kejelasan komunikasi merupakan prasyarat stabilitas kelembagaan.

Ketika bahasa budaya tidak dikelola dalam kerangka kebijakan yang modern dan transparan, ia berpotensi berubah dari perekat sosial menjadi pemicu konflik internal. Dengan mengisi kekosongan kajian sebelumnya dan menawarkan perspektif baru, penelitian ini memberikan kontribusi penting bagi pengembangan ilmu komunikasi kebijakan berbasis kearifan budaya lokal dalam konteks ormas Islam Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA
Buku & Monograf
Abdullah, M. (2021). Komunikasi kepemimpinan kiai dalam dinamika organisasi keagamaan. Prenadamedia.
Anderson, B. (1990). Language and power: Exploring political cultures in Indonesia. Cornell University Press.
Azra, A. (2017). Islam Indonesia: Kontinuitas dan perubahan. Yayasan Obor.
Geertz, C. (1960). The religion of Java. University of Chicago Press.
Hadi, S. (2016). Pola komunikasi Jamaah NU dalam kontestasi kepemimpinan lokal. Universitas Airlangga Press.
Hamid, A. (2022). Moderasi beragama dan manajemen komunikasi publik ormas Islam. UIN Sunan Kalijaga Press.
Magnis-Suseno, F. (1984). Etika Jawa: Sebuah analisa falsafi tentang kebijaksanaan hidup Jawa. Gramedia.
Nugroho, R. (2014). Public policy: Dinamika kebijakan publik, analisis kebijakan publik, manajemen politik kebijakan publik. Elex Media Komputindo.
Prasodjo, S. (2018). Bahasa, kuasa, dan politik eufemisme dalam budaya Jawa. Gadjah Mada University Press.
Wahid, Y. (2020). Kepemimpinan moral dalam organisasi keagamaan: Studi atas struktur Syuriyah dan Tanfidziyah. UIN Maliki Press.
________________________________________
Artikel Jurnal & Prosiding
Ahdiyana, M., et al. (2022). Policy communication in the implementation of the Keluarga Sasaran Jaminan Perlindungan Sosial program in Yogyakarta City. Informasi, 52(1), 45–62.
Aneta, Y., et al. (2024). The role of organizational policy communication: Supporting disaster mitigation management in Gorontalo, Indonesia. Jurnal Public Policy, 5(2), 112–130.
Cendriono, N. (2020). The use of euphemism form as Madiun’s cultural societies and effect in language teaching. Proceedings of the International Conference on Language Education.
Goei, H. L., et al. (2022). The influence of unggah-ungguh as Javanese culture in GITJ Kudus’ communication processes. E3S Web of Conferences, 317, 03012.
Hadzantonis, M. (2021). Javanese tensions: Revitalizing Javanese amidst old and new symbolisms. Journal on Asian Linguistic Anthropology, 3(1), 45–63.
Hermandra, H., et al. (2024). Dysphemism in eating expressions in Javanese: A study of cognitive semantics. Studies in English Language and Education, 11(2), 233–249.
Huda, M. K., et al. (2025). Living hadith and character inculturation in contemporary preaching: A case study of Gus Iqdam’s da’wah. Religia, 28(1), 14–32.
Irawanto, D., Ramsey, P. L., & Ryan, J. C. (2011). Challenge of leading in Javanese culture. Asian Ethnicity, 12(2), 125–139.
Kawakip, A. N. (2020). Globalization and Islamic educational challenges: Views from East Javanese pesantren. Ulumuna, 24(1), 1–27.
Magfiroh, H., et al. (2020). Language variety and meaning in Javanese sacred ceremonies. E3S Web of Conferences, 202, 06023.
Pamungkas, O., et al. (2023). The spirit of Islam in Javanese mantra. HTS Teologiese Studies, 79(3), 1–10.
Rizal, M. (2020). Javanese culture in internal control in government bureaucracy. Proceedings of the Third International Conference on Social Transformation, Community and Sustainable Development, 455–462.
Rohmadi, M., et al. (2025). Religiousness in Javanese language and culture communication: A sociopragmatic study in Java Island, Indonesia. International Journal on Culture, History, and Religion, 7(1), 55–68.
Setyawan, A. H., et al. (2025). Euphemism analysis on Retno Marsudi’s speech at the 2024 ICJ public sitting. Deskripsi Bahasa, 9(1), 40–55.
Sumarlan, I., et al. (2025). Public relations strategies in religious organizations: A qualitative study of Muhammadiyah’s organizational communication. Frontiers in Communication, 10(2), 87–102.
Wulandari, A., et al. (2025). Language, youth, and cultural identity: Study on the inheritance of Javanese speech levels among teenagers in Yogyakarta. Jurnal Ilmiah Peuradeun, 13(1), 120–137.
Yani, M., et al. (2022). Advancing the discourse of Muslim politics in Indonesia: Political orientation of kiai as religious elites in Nahdlatul Ulama. Heliyon, 8(12), e12088.

Dokumen Organisasi / Arsip PBNU
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama. (2025). Surat tabayun mengenai beredarnya risalah rapat harian Syuriyah PBNU (No. 4778/PB.02/A.I. 01. 47/99/11/2025).

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

More in Opini