Media Gathering Konferensi Tenurial Nasional 2023: Wujudkan Keadilan Sosial-Ekologis Melalui Reforma Agrsria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam
Jakarta Melayutoday.com – Koalisi Masyarakat sipil menggelar Konferensi Tenurial untuk ketiga kalinya pada 16-17 Oktober 2023 di Gedung Serbaguna Gelora Bung Karno, Jakarta. Konferensi ini akan kembali mendorong pelaksanaan reforma agraria sejati serta pengelolaan sumber daya alam yang beradab untuk mewujudkan keadilan sosial ekologis.
Hal ini diungkapkan Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Dewi Kartika selaku Ketua Panitia Pengarah Konferensi Tenurial 2023 bertujuan menyikapi isu agraria di Indonesia,
Salah satu bukti belum terwujudnya reforma agraria sejati ini ditunjukkan dengan banyaknya kebijakan dan program pembangunan yang justru berpihak pada kelompok investasi serta badan usaha skala besar. Sebaliknya, hak-hak konstitusional dari petani, nelayan, buruh tani, masyarakat adat, hingga kelompok marjinal di perkotaan semakin terdegradasi.
Selama pemerintahan Joko Widodo berkuasa telah terjadi 2.710 konflik agraria seluas 5,88 juta hektar di sektor- sektor seperti perkebunan, kehutanan, pertambangan, pesisir pulau-pulau kecil, properti, agribisnis, fasilitas militer, termasuk proyek strategis nasional ( PSN) dan pariwisata premium. Peningkatan eskalasi konflik agraria ini juga terjadi akibat proyek strategis nasional di berbagai wilayah.
”Poin pertama dalam konferensi ini akan menyikapi hal yang berkaitan dengan masalah agraria struktural. Kami melihat kampung-kampung, desa, wilayah adat, serta lahan pertanian yang selama ini diperjuangkan hak atas tanah dan hak atas kekayaan alamnya terus- menerus diabaikan,” ujarnya dalam Media Gathering, Jumat ( 13/10/2023) di Bakoel Coffe, Cikini Jakarta Pusat.
Proses Konferensi Tenurial 2023 dibagi menjadi tiga agenda, yakni prakonferensi, konferensi nasional, dan pascakonferensi. Agenda prakonferensi akan fokus pada penyampaian isu, pengalaman, dan cerita keberhasilan di tingkat tapak untuk memperkuat dokumen konferensi yang telah disusun Tim Substansi.
Agenda kedua ialah konferensi nasional menjadi ruang konfirmasi dan pembangunan legitimasi atas substansi yang telah dibangun selama prakonferensi. Agenda dalam konferensi ini adalah membahas pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam dari aspek politik, kebijakan, krisis multidimensi, serta keberhasilan dan arah perbaikan ke depan.
Adapun agenda pascakonferensi nantinya konsensus nasional dan peta jalan yang dihasilkan akan didorong ke dalam dokumen strategis pembangunan. Konsensus dan peta jalan ini juga akan menjadi platform perubahan kebijakan di berbagai tingkatan pemerintah sekaligus memanfaatkan momentum politik 2024.
”Koalisi masyarakat sipil dari berbagai gerakan ini bergabung untuk mengantisipasi tantangan dan ancaman menjelang kekuasaan politik 2024. Kami melihat terjadi rekonsolidasi kelompok elite politik untuk memastikan pergantian kekuasaan sejalan dengan tata cara atau modus mengakuisisi tanah dan sumber daya alam,” kata Dewi.
Konferensi Tenurial pertama kali diselenggarakan tahun 2011 dan kembali diadakan pada 2017 sebagai ruang konsolidasi gerakan masyarakat lintas sektor. Berbeda dengan dua konferensi sebelumnya, penyelenggaraan Konferensi Tenurial ketiga tahun ini tidak melibatkan pemerintah. Namun, dokumen konsensus hasil konferensi secara simbolis akan diserahkan kepada perwakilan pemerintah pada akhir acara.
Direktur Eksekutif Kemitraan Laode Muhammad Syarif mengatakan, pemerintah dan DPR harus memenuhi janji untuk melindungi kelompok rentan, salah satunya, dengan mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Adat.
Pengesahan RUU ini juga menjadi salah satu point strategis yang ditekankan dalam Konferensi Tenurial nanti. Konferensi juga akan membahas tentang pengelolaan sumber daya alam yang salah satunya, berkaitan dengan penatausahaan tanah adat dan ulayat. Secara spesifik, nantinya rekomendasi jangka pendek adalah merevisi Peraturan Menteri Agraria Dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional Nomor 18 Tahun 2019 tentang Tata Cara Penatausahaan Tanah Ulayat Kesatuan Masyarakat Hukum Adat.
”Jadi, dari segi kebijakan memang selama ini kita kerap mempersulit dan tidak memihak masyarakat adat. Hal ini membuat masyarakat adat tidak bisa melindungi lahan yang dimilikinya selama bertahun-tahun ketika menghadapi investasi,”tegas Leode Syarif. ( hrn).