Connect with us


Budaya

Cermin Robohnya Surau Kami: Pergeseran Politik Kita

Pergeseran Politik

Oleh Masud HMN*)

Budayawan AA Nafis menulis buku yang berjudul “Robohnya Surau Kami” pada tahun enam puluhan. Terkenal karena mengangkat sebuah episode masyarakat di Minangkabau ketika itu yang lupa kampung halaman. Mengingatkan orang Minang kabau pada tanah tumpah darahnya yang lalai terhadap agama.

Bukunya AA Navis itu (1924- 1993 ) berisi kumpulan Sembilan cerita pendek yang ditulis dengan kata yang menarik, bahasa budaya. Sungguh mengasikkan membacanya. Sangat laris tulisan AA Nafis tersebut, Banyak dibaca orang dan menginspirasi menjadi topic diskusi dan perbincangan dimana- mana. Baik di kedai kopi level rendah atau bawah, publik menengah maupun kalangan gedongan, yakni masyarakat level atas.

Sehingga tidaklah mengherankan kalau Buya Ahmad Syafi’i Ma’arif menanggapi hal itu dengan serius ( Republika 21 April 2021). Dalam sebuah artikelnya bertopik: “Robohnya Surau Kami” yang
membentangkan terminology budaya orang Minangkabau. Pada masa itu difokuskan pada bidang politik. Bagaimana politik orang MinangKabau antara sekarang dan dibandingkan dengan dahulu serta yang dipandangnya berbeda. Politik yang bernuansa keagamaan dan sopan santun dimasa lalu dibandingkan dengan poltik masa itu (tahun 2O22).

Dalam perspektif politik uang dan materil kekuasan. Syafii Maarif mempersepsikan Robohnya Surau Kami, dalam arti agama dan moral politik. Politik hanya pembagian kekuasaan dan marteri. Yang demikian menjadi pola orang Minang Kabau pula dalam politik.

Padahal definisi politik bukan itu saja yang berkait juga dengan budaya, moral dan etika. Namun budaya etika dan moral tidak dipedulikan lagi. Realitanya serta perspektifnya tidak kesana. Berubah atau bergeser pada yang lain. Misalnya: materi dan kekuasaan.

Opini Syafii Maarif ini diaminkan banyak orang, karena orang Minang tiada lagi kokoh padanya yang tidak lekang karena panas tak lapuk karena hujan. Yang menjadi sama saja dengan budaya pasar yang mana yang ijuk dan mana yang tali, mana yang esok dan mana yang kini.Tiada perbedaan. Budaya atau etika dulu yakni orang MinangKabau terkenal santun dan lemah lembut dalam bicara, kini orang MinangKabau pun ada yang kasar dan beringas. Sama saja dengan pembawaan suku lain. Tiada Bedanya dibandingkan suku lain. Sama saja.

Maka diambil kesimpulan, robohnya surau kami yang dulu surau di ambil sebagai literasi orang Minang Kabau, kini tidak lagi karena sudah runtuh. Bergesernya budaya dari dulu hingga sekarang. Sama saja dengan suku yang lain di Nusantara.


Karena itu menjadi relevant kita berpikir ulang, tentang buku AA Navis dan opini almarhum A. Syafii Maarif tentang robohnya surau kami dimaksud . Yang kita bayangkan runtuhnya agama, moral dan etetika serta estetika di ranah Minang yang harus kita risaukan. Coba kita renungkan ulang fenomena tersebut secara mendalam.


Marilah kita berpikir tentang sinyalemen Surau Kami, dimakanakan bahwa telah bergeser fenomena agama. Termasuk sinyalemen agama bagi suku Minang Kabau. Ayolah kita berpikir dan berkerja mencari jalan mengatasi soal tersebut. Semoga sukses. !

Jakarta 6 Mei 2023

*)Masud HMN adalah Doktor dan Dosen Pascasarjana Universitas Muhammadiyah
Prof Dr Hamka (UHAMKA) Jakarta.

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.

More in Budaya