Beranda » Budaya » Puisi Ekologi Sufistik
Oleh Dr Mas ud HMN*)
Jika ceramah tidak lagi mampu memberi pesan yang kuat untuk perubahan sikap dalam menjaga lingkungan, tentu harus dicarikan media altenative lain.. Mungkinkah puisi sebagai pengganti ?. Terutaama puisi bermuatan ekologi sekaligus sufistik.Agaknya pantas untuk dipercakapkan.
Sembilan Agustus 2016 lalu penulis diundang menghadiri sebuah acara budaya yang jarang penulis temui.Sebab penulis bukan budayawan, bukan pengamat budaya. Apa lagi kritikus sastera.
Namun penulis merasa beruntung dapat pencerahan atas kegiatan ini.Lagi pula ditaja dengan mengambil tempat pada sebuah Cafe di kawasan Arenka ,Pekanbaru Barat. tempat yang seronok. Membawa kesan yang intens serta religius. Dihadiri sekitar 70 orang sebagaian besar belum saya kenal.
Mereka budayawan, intelaktual, bisnismen yang potensial. Pengusung aktivitas ini dibawah sponsor sebuah kelompok bernama Kelompok Bercakaplah.
Pemimpin dan sekaligus tuan rumah tidak kepalang tanggung adalah Dheni Kurnia, Yang melekat pada sosoknya wartawan senior.Ia sebagai kuli tinta dan leader pada Halauan Riau group yang juga Ketua umum Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Riau.
Dheni Kurnia memperkenalkan saya, kemudian memberi sambutan singkat, bahwa temu budaya itu merupakan ulang tahun kedua yang disejalankan dengan peringatan ulang tahun propvisni Riau ke 59,( 9 agustus 1958-9 Agustus 2016)
Acara berlanjut dengan baca puisi. Salah satu puisi yang di Sampaikan dari Menteri Kehutann RI Siti Nurbaya. Ia mengirim puisi dengan mengutus stafnya
Puisinya berdurasi delapan menit waktu baca.Isinya pesan berrmakna dalam wawasan kemanusiaan. Temanya adalah mengangkat puisi ecologi sufiistik ,
Inti soal ada pada realitas pejabat dan masyrakat , tiada peduli menjaga lingkungan alam Akhirnya kebakaran dan asaplah hasilnya Awalnya yang menyentakkan nurani warga kota Lancang kuning itu
Saya kutip sebagian penggalan awal,
Riau mu, Riauku juga Rusak hutanmu kini aku berduka,.
Mana hutanmu, mana tanah mu, mana sungaimu.
Bumi dan hutanmu terbakar, asap menderamu
Adakah kesadaran kita kurnia Allah harus kita jaga.
Demikian kata yang saya tangkap dari pembacaann puisi Menteri Kehutana RI tersebut.
Tentu cakap ini tidak lancung, munafik, bohong atau meng ada ada. Suara yang tak akan hilang dipupus ributnya angin. Ia adalah suara ombak persada kuasa.
Mungkin Ibu Menteri Kehutanan ingin membangkitkan elan kemanusiaan hakiki, Power luar biasa melawan kebusukan. Kedurjanaan, kebejatan yang rakus.
Ini bersambung rasa dengan perasaan banyak orang Riau yang tidak berdaya ditengah gelombang moderniasasi.Hutan milik siapa kini. Adakah mereka datang dari sisi pemukim dengan pencinta sejati negeri ini. Atau mereka hendak mengeruk laba sahaja, bukan menghitung kerugian dan malapetaka bagi orang lain
Dalam pandangan saya, ini benar. Intinya, bahwa memang harus disadari, kekuatan cakap ada dalam orasi dan pusisi.Semua itu termaktuf dalam bercakaplah.Bercakaplah tentang hutan tentang bumi dan ketaqwaan.
“Bepuisilah dengan seni, dan bercakaplah dengan nada sufi” Kata Afres Abeba penyair Riau terkekenal itu kepadaq saya. Sebab bagi enyair yang tahun lalu baca puisi di Meksixo, ini puisi adalah kata. Kekeuatannya pada sufi, kadar ketaqwaan dan kemanusiaan
Senada dengan Aris Abeba, Dheni Kurnia Ketua Persatuan Wartawan Riau, yang juga wartwan malang melintang di Jakarta era 80-an pada malam itu, berkata tugas kita adalah membawa orang supaya mau bercakap. Yang artinya kebebasan berekpressi, mernyatakan pendapat.
Tentu saja kata dia. bercakap yang membawa makna kemajuan. Bercakap yang bermutu. Yang berazas demi berkemajuan.
Taufik Ismail yang mengatakan kemanusiaan itu adalah kehidupan. Pada harusnya kehidupan itu menuju kekekalan. Demikian Taufik Ismail dalam sebuah perbincangan di layar stasiun TVRI Ramadhan lalu.
Karena itu Taufik menolak arti akhirat adalah akhir atau penghujung. Bagi Taufik, akhirat itu kekelan. Maka doa hasanah fil akhirah, adalah permintaan untuk mendapatkan hasanah yang berkekalan.
Ini pesan moral . ini orasi atau kata . Jika dirangkai dapat menjadi puisi.
Mungkin tiba masanya, puisi dapat berperan mengisi perubahan pada ceruk sebagian simpulan masalah lingkungan alam .Agar menjandikan nurani masyrakat Riau khusunya, berubah menjadi masyrakat yang menjaga lingkungan
Ajaran Islam yang mnenyatakan terjadinya kerusakan dibumi adalah karena tangan manusia. adalah indikasi banyaknya tangan perusak lingkungan alam. Kita harus mengaalangi, kita harus mencegah tangan warga bangsa ini agar tak berbuat kerusakan.
Penulis: Ketua Umum Pusat Kajian Peradaban Melayu (PKPM).