Beranda » Opini » Pemimpin Yang Mencerahkan Dan Mensejahterakan
Oleh Mas ud HMN*)
Bagaimana mengimajinasikan Negara yang yang kuat dengan bersama dengan rakyat agaknya relevant untuk diketengahkan.Ini berkaitan dengan kondisi politik di tanah air kita tercermin dari tampilan elit pemimpin kita. Sepertinya lebih mementingkan keinginan sendiri, menarasikan kata yang kurang elok mengejek lawan politik tapi melupakan kepentingan rakyat. Padahal yang kita perlukan pemimpin yang mencerahkan dan mensejahterakan
Sebagai pemegang suara voc populi voc dei (suara rakyat adalah suara Tuhan),Negara harus hadir diantara kekuatan keagamaaan social, politik dan ekonomi. Kekuatan tersebut memastikan agar Negara ada dalam keadaan stabil tidak terombang ambing. Disitulah kehadiran Negara sangat diperlukan dalam menciptakan kondisi kerukunan sosial.
Mungkin kita masih ingat, pada 15 May 2018 lalu Presiden Jokowi memanggil pemuka agama ke Istana, berkenaan dengan kasus serangan pihak terduga teroris ke Mapolda Riau Pekanbaru. Susul menyusul dengan peristiwa serangan gereja di Surabaya yang sebelunmnya terjadi kerusuhan di Markas Brimob di Kelapa Dua Depok yang berawal dari masalah tahanan mantan radikalissme.Peristiwa itu menimbulkan korban polisi, dan para teroris itu sendiri.
Dalam rangkaian serupa terjadi penggerebekan.Satu rumah kontrakan penghuninya di geledah polisi terkait kelompok terduga teroris oleh polisi di Tanggerang, dan di Cianjur.Pelaku tewas ditangan polisi.
Kejadian tersebut diatas,diduga kuat satu sama lain mempunyai hubungan kerja operasional sebagai bagian teroris internasional. Oleh karena itu Indonesia menjadi Negara serius dalam masalah keamanan. Bahkan ada 14 negara yang sudah menentpakan Warning pada warga negaranya untuk berkunjung ke Indonesia,
Pertemuan dengan pemuka agama, Presiden Jokowi minta pemuka agama agar merawat kerukunan,pemahaman kegamaan yang tolerans dan damai. Termasuk menjaga rasa aman, dan ketntraman masyarakat. “kita perlu merawat kerukunan dan kebersamaan” kata Presiden
Paaaliang belakangan ada releas dari Badan Intelijen Nedgara (BIN) mengungkapkan ada 41 masjid dibawah pengelolaan instansi Negara yang terpapar radikalisme. Hal itu diungkap juga oleh datu stasiun TV swasta Jakarta 29 November lalu.Tampaknya soal merawat kerukunan menjadi serius. Yaitu sebagai fungsi agama dalam hal nilai.Ini sepertinya identic pembicaraan bingkai agama dalam Negara. Dengan meminjam istilah Bachtiar Effendi merupakan respective position etik dalam norma atau bingkai keyakinan keagamaan (Esai on Islam on Public Affair, 2017, hal 211)
Sejak lama dalam lintasan sejarah dalam hubungan kehadirian negara telah menjadi diksusi .Bagaimana Negara berperan dalam kekuatan seperti kekuatan kegamaan.Esensinya sekarang ini semakin terasa urgent
Amerika serikat pernah terlibat dalam diskusi dalam tema diatas. Yakni masa D Eisenhower yang dalam masa kepersidennnya menemui problema serupa. Yang pada intinya soal rakyat dan negara.Dua sisi mata uang. Suara rakyat atau suatu Negara.
Dalam scopnya yang lebih luas hal dua sisi itu diidentikakkan dengan dua sudut pandang juga yaitu hanya suara rakyat adalah suara Tuhan dan suara pemerintah bukan suara Tuhan. Sementara ada yang mempersalahkan itu, suara pemerintah sebagai penjelmaan rakyat adalah identic dengan suara Tuhan juga (Bella, yang kemudian dikutip Ignas Kleden, Kompas 31 Mei 2017.)
Pada kenyataaan Amerika terbelah menjurus pada salah satu pandangan tersebut.Yakni Partai Republik memilih pandangan agama, berdasar vox dei suara Tuhan sementara partai Demokrat memilih pandangan vov vopuli suara rakyat.Ini tercermin dari Presiden yang menjabat terpilih dari partai mana Republik atau partai Demokrat.
Meskipun demikian,-yakni ada fanatic agama kalangan Republik dan ada yang tidak fanatik agama partai Demojrat-- sumpah Presiden Amerika tetap saja ada keharusan nilai ketuhanan. Seperti teks sumpah pelantikan dalam ungkapan “ to swear before the people al mighty God”. Yakni garansi bahwa Presiden akan melaksanaan kewajibannya sesuai dengan kehendak rakyat dan ketentuan agama.
Dalam persfektif diatas, tidak perlu disangsikan adanya peran pengelola negara melaksanakan tugasnya menghadirkan agama. Yaitu agama dalam negara.Hal inilah yang terjadi belakangan ini, yaitu situasi Negara menghendaki peran pemerintah yang lebih kongrit. Terutama dalam dua hal
Pertama, demi perpaduan kerukunan. Hal ini didasarkan pada memastikan Negara harus membawa pada Indonesia yang berkemajuan.
Kedua, keberadaan Negara dalam fungsi kendali.Menjadi solve persoalan, bukan menjadi problem. Ini garansi bahwa kebangsaan kita adalah hasil sebuah kepekatan , perpaduan.
Diatas semua itu, dua butir diatas adalah tata kelola berbasis dari kohesi sosial bangsa kita yang ada,
Kohesi social sebagai pewujudan suara hati rakyat, dan kohesi social bersumber ketentuan dari langit, atau agama
adalah tuntutatan dunia kini yang semakin rumit .Artinya ada dua tali yang berkelindan, tabf harus terbentuk saling mengokohkan, mengkohesikan suara rakyat berdimensi maumalat dengan kohesi spiritual berbasis pada dimensi langit.
Pandangan rakyat.atau pandangan intelektual kedunian lantaran dibatasi kemempuan dasarnya yang nisbi kana senatiasa memiliki kelemahan bila dibentuk jadi pegangan tunggal.Karena hal itu berpotensi untuk crowded dan manipulated. Pandangan bebas, akan membawa dan memperkenalkan pontamorgana,illusif dan khayali
Lalu Negara dengan pegangan spirit langit, suara Tuhan meskipun ideal,mengingat ada validitas fundamental,tinggal masalahnya pada pengejewantahan suara Tuhan tersebut . Apa maunya Tuhan terhadap nanusia sulit untuk di ketahui.Tak semua prinsip langit dapat diterjemahkan ,manusia dibumi
Problem kaitan antara voc dei dan voc vopuli jelas ada,dan itulah yang memerlukan pembelajaran yang serius. Namun bukan tanpa solusi, mengingat manusia juga yang menjadi kunci persoalannya. Maukah umat manusia menempatkan dirinya sebagai manusia yang intelek namun beriman (feith). Yaitu ada wilayah intelektual dan ada wilayah keimanan..
Artinya harus ada yang dikalahkan atau ditundukkan , yaitu suara rakyat harus tunduk kepada suara Tuhan.Dalam prakteknya skema ini yang diperlukan.Peran Negara menjadi nomor dua dibawah suara langit.Dengan demikian Negara berfungsi dalam rangka kesempurnaan suara langit yang menjadi tugas dari pemegang suara rakyat.Mencari yang terbaik bagi rakyat.Inilah kehadiran Negara yang diharapkan.
Jakarta 30 November 2018
Wallahu aklam bissawab
*)Penulis adalah Doktor Dosen Sekolah Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka (UHAMKA) Jakarta